Rabu, 16 Agustus 2017

Literasi



Menciptakan Kebahagiaan    
    
Kebahagiaan adalah sebuah kata yang diimpikan setiap manusia dalam kehidupannya. Dalam setiap langkah kaki, hela nafas, dan khayalannya menyimpan satu tujuan yaitu mencapai sebuah kebahagiaan. Tak heran bila ada orang rela melakukan apa saja untuk mencapai sebuah kebahagiaan. Mengorbankan waktu, harta dan pikiran adalah hal yang biasa dalam menggapai kebahagiaan.
Kebahagiaan tidak harus diwujudkan dalam bentuk materil. Kebahagiaan itu tidak harus berwujud uang yang banyak, harta yang berlimpah. Kebahagiaan juga tidak selalu didentik dengan jabatan yang tinggi ataupun kemewahan hidup. Jika kebahagiaan ukurannya materi, maka hanya orang – orang kaya yang dapat merasakan kebahagiaan. Kebahagiaan itu bisa saja tidak pernah dirasakan oleh orang yang tidak mampu secara materi.
Kebahagiaan secara materi hanya akan di dapatkan bagi orang – orang yang mempunyai banyak kemewahan dalam hidupnya dia bahagia karena bergelimang harta, jabatan yang tinggi padahal itu semua hanya kebahagiaan dunia lalu bagamana dengan kebahagiaan akhiratnya? Mampukah ia menyeimbangi urusan dunia dan akhiratnya. Sebagaimana dalam Qs. Az–Zukruf :35 menjelaskan tentang kebahagiaan akhirat lebih utama, Qs. Asy-Syura :20 menjelaskan kebahagiaan akhirat berkali lipat dan Qs. Al-Ankabut : 64 menjelaskan bahwa kehidupan dunia hanya sebagai perantara. Sedangkan kebahagiaan non materi mereka bahagia dengan hidup yang sederhana mereka tetap bersyukur akan nikmat yang masih mereka miliki, masih tetap bertawakkal dan berusaha menjadi yang terbaik untuk diri sendiri maupun orang lain mereka mampu menyeimbangi urusan dunia dan akhiratnya karena sadar bahwa mereka diciptakan tidak lain hanya beribadah kepada Allah Qs.Adz-Dzariyat : 56. Tapi ada juga orang bahagia secara materi namun tak melupakan tujuan penciptaannya sebagai seorang hamba.
Kebahagiaan itu adalah wilayah batiniah bukan wilayah fisik. Oleh karena sifatnya yang batin dan bukan fisik, maka kebahagiaan dapat dirasakan oleh siapapun tanpa melihat latar belakang sosialnya. Kebahagiaan itu juga dapat dirasakan oleh orang kaya, orang miskin, pejabat ataupun rakyat biasa. Inilah yang diajarkan oleh agama kita bahwa kebahagiaan dan materi itu berbeda, tidak sejalan. Tidak mesti bahwa setiap orang miskin tidak berhak mencicipi kebahagiaan, tidak mesti pula orang kaya mutlak selalu merasakan kebahagiaan. Al-ghina ghina al-nafs, kekayaan yang sesungguhnya adalah kekayaan batin ini.
Kebahagiaan itu adalah seni. Ia perlu pemupukan dan proses serta latihan – latihan. Kebahagiaan memerlukan bahan baku yang berkualitas serta perawatan yang maksimal. Kebahagiaan akan terasa indah bila diberi pupuk sehingga tumbuh dengan subur, kemudian dijaga dan dipelihara sebaik baiknya.
Seni kebahagiaan yang sering kali rusak dan dibiarkan di dalam diri kita adalah masalah spritualitas. Spritualitas ini bukan spritualitas biasa. Banyak orang yang ramai membicarakan masalah spiritual, tapi meraka tidak tahu apa yang dimaksud spritual. Spiritual itu tidak dapat diukur dengan ukuran – ukuran fisik. Spiritual itu adalah fenomena batin, fenomena kejiwaan yang lebih merupakan suatu akibat dari suatu sebab. Spiritual itu adalah akibat bukan sebab.
Tidak setiap kehendak yang kita inginkan mempunyai spritualitasnya, seperti keinginan bahagia yang tidak langsung otomatis bahagia membutuhkan proses yang sangat panjang sama dengan kebahagiaan itu sendiri dengan mengoptimalkan kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual adalah keberanian untuk menerawangkan imajinasi ke dunia lain, keluar dari dunia yang selama ini mengurung diri kita. Bagaikan orang yang ada didalam tempurung dan sesak nafas didalam, menganggap seolah – olah kebahagiaan itu ada dalam tempurung. Ketika dia keluar dari tempurung itu, ternyata diluar ada langit dan diatasnya masih ada langit. Kebahagiaan yang selama ini ia yakini menjadi tidak berarti. Disinilah kita mengingatkan diri untuk tidak perlu berambisi memperebutkan sebuah popularitas, masyhurun fil ard popularitas di bumi. Yang penting  ma’lumun fissama’ (tenar di langit).
Tapi bagaimana orang bisa tenar di langit kalau dia tidak pernah menerawang ke langit. Keberaniaan menerawang ke langit, ke angkasa luar, imajinasinya berfikir, inilah yang disebut spiritual intelligence dan ini yang dinamakan  isra’ mi’raj, perjalan seorang kekasih Allah.
Jadi, dalam menciptakan sebuah kebahagiaan yang selama ini kita cari dalam tiap hela nafas dan langkah kaki terletak pada kemampuan kita dalam memenuhi kebutuhan Spiritual. Berbagai kegiatan, baik yang berhubungan dengan ibadah kita kepada Allah ataupun tadabbur alam, adalah mediabagi setiap kita untuk memaknainya agar dapat dijadikan loncatan yang akan mengantarkan kita menuju keabdian-Nya. Ibadah menjadi momen untuk memenuhi segala kebutuhan spiritual kita agar kita dapat menciptakan kebahagiaan dimana pun dan kapan pun takdir membawa kita.

#Spiritual
#SalamAkselerasi
#Aksi.Sekolah.Literasi
#FKIP_Satu
#FKIP_Berdiaspora
#IMM_Bersinergi